Kamis, 04 Maret 2010

BERITA KRIMINAL MEMBUAT ANAK DEPRESI

Bukan hanya di Indonesia, di Negara barat bahkan mungkin seluruh dunia, kebanyakan stasiun TV yang ada menyiarkan berita yang berisi criminal dan kekerasan. Sekilas nampak wajar saja, padahal sedikit demi sedikit dampaknya mulai terasa.

Berita TV, terutama yang menyajikan kekerasan dan kejahatan, pasti mempunyai suatu dampak negative pada masyarakat. Berita-berita TV itu pada dasarnya merupakan oxymoron (penyebab kebodohan), memberikan kebenaran pada kulitnya (luarnya) namun diisi kebohongan di dalamnya.

Suatu program berita seharusnya dipusatkan pada fakta (kenyataan), mungkin dengan ditambahi beberpa analisa yang obyektif. Namun karena tujuan bisnis, siaran berita ini menggunakan suatu yang dramatis, biasanya tayangan dan cerita kejam untuk menarik dan mempertahankan pemirsanya, dengan dalih untuk menjaga agar berita itu terinformasikan. Untuk menonton cerita horror pun begitu mudah tinggal pilih program verita-cerita misteri yang hampir setiap stasiun TV memilikinya.

Apa yang dilihat dan didengar dan berita itu, disadari atau tidak akan mempengaruhi pemirsa, dan membawanya kepada ketakutan yang tidak perlu dan berlebihan mterhadap suatu bahaya tertentu. Kenyataan ini adalah benar, terutama bagi anak-anak yang tidak punya ‘ pertahanan’ terhadap gencarnya serangan berita criminal yang ditayangkan oleh TV yang terselubung melalui laporan informasi.

Mengapa berita yang buruk itu menjadi satu-satunya berita? Apakah semua orang merasa tertarik dengan berita semacam itu?

Ambilah cerita mengenai seorang gadis yang sangat cantik yang diidolakan semua orang di tempatny. Walaupun begitu, media massa tidak tertarik untuk memberitakannya. Namun setelah terjadi pembunuhan terhadap gadis itu, namanya langsung menghiasi halaman depan beberapa media massa.

Sudah sejak lama produser berita punya semboyan ‘jika berita itu berbau darah, maka akan digemari .’ semboyan itu ternyata banyak digunakan dan terbukti. Baik berita dunia maupun berita local hampir tak dapat dibedakan, kedua-duanya dipenuhi dengan pembantaian dan darah. Sangat jelas bahwa pendapatan dari iklan dan ‘pengikat yang kuat’ bagi pemirsa untuk terus menonton acara terjadinya ‘pembodohan’ melalui berita di TV ini.

Produser berita harus punya gambaran bahwa jika mereka dapat ‘menghilangkan kecerdasan’ dari pemirsanya, mereka akan caenderung menonton berita tentang darah dan kekerasan itu. Padahal sebagian besar berita itu sudah terkenal tidak sesuai proporsi. Para produser ii ahli dalam menciptakan suatu paket tontonan yang menarik naluri alami manusia dengan sesuatu yang menghebohkan.

Berita itu menarik perhatian, menjebak, dan membuat tidak bisa beralih ke saluran lain. Sepertinya, penonton mengalami sendiri hal-hal yang menakutkan itu. Cerita criminal merupakan berita yang diminati, pengalaman yang mendalam bagi para pemirsa. Jika ada yang melakukan tindakan criminal itu, tidak ada stasiun TV yang tidak meliputnya, atau tidak seorang pun yang tidak membicarakannya.

Secara jurnalistik, biaya pembuatan berita tentang criminal dan kekerasan adalah murah, disamping menarik perhatian. Secara umum, stasiun TV yang siarannya dipenuhi dengan topic criminal dan kekerasan dapat memangkas jumlah stafnya (lebih sedikit diperlukan, sebab adegan dan alur cerita yang disajikan oleh peristiwanya) dan meningkatkan rating pada waktu yang bersamaan.

Pada kenyataan, topic tentang criminal nampaknya mendominasi media massa yang ada. Politik, pendidikan, bisnis dan lingkungan rata-rata hanya menduduki peringkat kedua (tentu saja, tidak termasuk berita politik hangat, misalnya tentang pemilu). Berita criminal yang melimpah ini menyebabkan naiknya ketakutan masyarakat terhadap keselamatannya sendiri. Sangat jelas bahwa tayangan-tayangan di TV, baik buruk maupun baik, punya kekuatan yang luar biasa untuk mempengaruhi perilaku manusia.

Sebagian besar orang percaya bahwa berita di TV merupakan refleksi dari suatu kejadian yang sebenarnya. Mereka menjadi takut terhadap lingkungan tempat tinggalnya sendiri dan takut akan serangan para penjahat terhadap mereka atau yang dicintainya. Hal yang memprihatinkan ini nampaknya lenih banyak dipacu oleh liputan TV dibanding dengan mendengarkan pengalaman pribadi seseorang. Semakin banyak menonton TV (berita criminal) semakin besar ketakutan yang diperoleh.

Juga dan barangkali ini lebih penting lagi dimungkinkan seseorang yang menyaksikan begitu banyak berita tentang tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari kekejaman, pembunuhan brutal, dan para pembunuh sadis, menjadikan orang tersebut tidak merasa hilang rasa kasihannya terhadap korban dan keluarganya. Karena alasan-alasan ini, sangat ditekankan bagi permirsa bila menonton berita itu, harus memikirkan atau menganalisa melalui pendapatnya sendiri. Tidak perlu dengan pendapat-pendapat yang sudah dibangun terlebih dahulu oleh penyaji berita atau dugaan-dugaan, tetapi harus dengan pemikiran kritis yang akan membantunya untuk memutuskan dan menafsirkan pa yang dilihat.

Berita-berita (criminal) di TV berbahaya bagi kesehatan emosi dan jiwa anak-anak. Contohnya, selain peliputan yang tidak tuntas danterlalu jauh, detail, dan kotor terhadap skandal Clinton/Lewinsky, pemberitaan di TV menakuti anak SD dengan adanya ‘keasyikan’ memberitakan kejahatan dan kekerasan. Peliputan yang jelas dan nyata terhadap peperangan, permohonan,pembunuhan, dan bencana alam sangat meungkin dapat menyebabkan mimpi buruk, depresi dan reaksi yang membekas lainnya.

Orang dewasa tentunya dapat membuat aneka pilihan yang nyata tentang apa yang ditonton dan darimana informasi tersebut. Sedangkan anak-anak belum mampui, mereka masih polos dan mudah terkesan. Orang dewasa punya kemampuan untuk mengenali perbedaan antara kenyataan dengan tipuan; anak-anak tidak. Dunia (kenyataan) yang diperkenalkan oleh TV kepada mereka pada umunya lebih menakutkan dibanding dunia yang sebenarnya.

Secara statistic kejahatan menurun, sementara liputannya di TV meningkat. Stasiun TV nampaknya memaksakan untuk memberitakan pada pemirsanya tentang semua kejahatan,tragedy, dan bencana terkini, sehingga hal-hal tersebut satu-satunya yang berharga untuk disajikan. Namun, apakah hal itu berita sebenarnya? Dan apakah hal itu merupakan tanggung jawab stasiun TV untuk memberitahukannya? Atau merupakan penyalahgunaan yang mencolok terhadap wewenangnya?

Kewenangan jurnalistik itulah sebenarnya yang bisa digunakan secara lebih baik bagi para pelakunya, setidaknya dengan melaporkan ancaman/ bahaya yang akan terjadi bagi para pemirsanya, sehingga mereka dapat bereaksi (mungkin bisa membantu menghalanginya), daripada hanya menayangkan kerusakan yang telah terjadi semata-mata untuk nilai ‘hiburan’.

Apapun yang mengacu pada peningkatan-peningkatan (criminal) ini, sperti pepatah bilang ‘ yang manbur, yang manuai’. Karenanya, kekerasan melahirkan kekerasan ketakutan melahirkan ketakutan, dan dunia criminal menjadisemacam pemenuhan bagi diri seseorang.

Semua yang ada di TV dan kita menhadi lebih buruk, terutama anak-anak. Anak-anak sedang membayar suatu harga yang ‘ mahal’. Seandainya pepatah lama tentang berita bisa diubah mnenjadi, ‘ tidak ada berita yang buruk’ hal itu benar-benar akan menjadi kenyataan juga.

Sumber: www.courseworkbank.co.uk
NABILA/JUNI2004



0 comments:

Posting Komentar

Bunda Dan Ananda © 2008 Template by:
bunda dan ananda