Dewasa
ini banyak kita temui kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak dan
remaja. Kasus kekerasan seksual sebagian besar dialami remaja putrid. Setiap
orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat,
pendidikan, dan jabatan. Penelitian dari Abar & Subardjono (1998),
menunjukkan bahwa berdasarkan data usia pelaku perkosaan, dapat dikatakan bahwa
pelaku perkosaan tidak mengenal usia. Yayasan kepedulian untuk Anak (KAKAK)
Surakarta selama tahun 2000 mencatat telah terjadi 90 kasus kekerasan seksual
yang dialami oleh anak yang korbannya mencapai 18 orang (Suara Merdeka, 2001),
ini menunjukkan betapa banyaknya perempuan
yang
menjadi korban kekerasan seksual.
Solihin (2004) dalam penelitiannya dengan
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center
for tourism research and development Universitas
Gadjah Mada melaporkan child
abuse yang terjadi dari tahun 1999-2002
di 7 kota besar di kota besar di Indonesia ditemukan sebanyak 3.969 kasus
dengan rincian sexsual abuse 65,8%, physical abuse 19,6%,
emotional abuse 6,3%, dan child neglect 8,3%.
Whitffen dan MacIntosh (dalam Rice, 1999) menemukan bahwa pengalaman kekerasan
seksual pada masa anak-anak erhubungan
dengan
stres emosional pada masa dewasa (adult
emotional distress) dan kesulitan menjalin relasi
intim pada saat dewasa. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti
berinisiatif untuk melakukan penelitian dengan melakukan analisis dan studi fenomenologi
tentang dampak psikologis korban kekerasan seksual. Tujuan penelitian ini
adalah melakukan analisis tentang bagaimana dan mengapa terjadi kekerasan
seksual, melakukan analisis dampak. Psikologis pada korban kekerasan seksual,
dan mengetahui dinamika kepribadian korban kekerasan seksual.
Kerangka Kerja Teoritik
Poerwandari
(2000) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah ke
ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan
tindakantindakan lain yang tidak dikehendaki oleh Korban, memaksa korban menonton
produk pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapan-ucapan yang Merendahkan dan
melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa
berhubungan seks
tanpa
persetujuan korban dengan kekerasan fisik maupun tidak; memaksa melakukan
aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau
melukai korban. Sisca & Moningka (2009) mengatakan bahwa kekerasan seksual yang
terjadi pada masa kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial karena membawa
dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya. Angka kasus kekerasan
seksual pada anak meningkat setiap Tahunnya.
Mboiek
(1992) dan Stanko (1996) mendefinisikan kekerasan seksual adalah suatu
perbuatan yang biasanya dilakukan laki-laki dan ditujukan kepada perempuan
dalam bidang seksual yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina,
tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya.
Suhandjati (2004) mengatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan
apabila menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis,
trauma emosional, tidak hanya dipandang dari aspek legal, tetapi juga sosial
dan kultural. Bersamaan dengan berbagai penderitaan itu, dapat juga terjadi kerugian
harta benda. The nation center on child abuse
and neglect 1985, (Tower, 2002) menyebutkan
beberapa jenis kekerasan seksual berdasarkan
pelakunya,
yaitu:
1.
Kekerasan
yang dilakukan oleh anggota keluarga.
2.
Kekerasan
yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota
3.
keluarga.
4.
Kekerasan
Perspektif Gender
Faham
gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini
sebagai kodrat Tuhan.
Sebagai
kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah. Oleh karena gender bagaimana
seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat.
Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat
gender ternyata melahirkan ketidakadilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi,
diskriminasi, marginalisasi, stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut
merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Teori
Feminis Radikal berpandangan bahwa adanya pemisahan ranah publik dan ranah
privat yang menyebabkan perempuan mengalami ketertindasan. Pengertian ranah
publik mengandung arti yang lebih tinggi tingkatannya dari ranah privat dan ini
merupakan awal sistem patriarki yang menyebabkan perempuan berada pada posisi
tertindas (Arivia, 2003). Dampak yang muncul dari kekerasan seksual kemungkinan
adalah depresi, fobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu
yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan
orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya
kehamilan akibat dari
perkosaan.
Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada
kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih
& Faturochman, 2002) Penelitian yang dilakukan oleh MS Magazine (dalam
Warshaw, 1994) menunjukkan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami
perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil
kursus bela diri, dan 82% tidak dapat melupakan.
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
PTSD
merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan
kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun
emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa Kaplan, H.I., Sadock, B. J.,
& Grebb, J.A., 1997). Hikmat (2005) mengatakan PTSD sebagai sebuah kondisi
yang
muncul
setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa
seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan
seksual), atau perang. Grinage (2003) menyebutkan kriteria diagnosis PTSD
meliputi:
1.
Kenangan
yang mengganggu atau ingatan tentang kejadian pengalaman traumatik yang
berulang-ulang,
2.
perilaku
menghindar,
3.
muncul
gejala-gejala berlebihan terhadap sesuatu yang mirip saat kejadian traumatik,
dan
4.
tetap
adanya gejala tersebut minimal satu bulan.
Selain
itu, kriteria diagnostik ditegakkan berdasar criteria diagnostik gangguan
stress akut berdasar Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders III-Revisi atau
DSM III-R, dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang, kriteria tersebut adalah:
1.
Orang
yang telah mengalami, menyaksikan dan dihadapkan pada suatu kejadian
traumatik..
2.
Merupakan
salah satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah mengalami
kejadian yang menakutkan. Kejadian traumatik yang secara menetap dialami
kembali dalam episode kilas balik yang berulang-ulang.
3.
Penghindaran
pada stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma.
4.
Gejala
kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran. Gangguan menyebabkan
penderitaan yang bermakna klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, yang
mengganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan.
5.
Bukan
efek fisiologis langsung dari suatu zat atau kondisi medis umum (Rose, S, J.
Bisson & S. Wessely., 2002)
PTSD
dapat disembuhkan apabila segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang
tepat. Apabila tidak terdeteksi dan dibiarkan tanpa penanganan, maka dapat
mengakibatkan komplikasi medis maupun psikologis yang serius yang bersifat
permanen yang akhirnya akan mengganggu kehidupan sosial maupun pekerjaan penderita.
(Flannery, 1999).
Depresi
Beck
(1967) mendefinisikan depresi sebagai adanya penurunan mood, kesedihan,
pesimisme tentang masa depan, retardasi dan agitasi, sulit berkonsentrasi,
menyalahkan diri sendiri, lamban dalam berpikir serta serangkaian tanda
vegetatif seperti gangguan dalam nafsu makan maupun gangguan dalam hal tidur. Louis
dkk. (1996) mengatakan bahwa depresi berhubungan dengan kognisi yang mengalami
distorsi. Leitenberg & Wilson (1986) menyatakan bahwa mereka yang depresi
menunjukkan control diri rendah, yaitu evaluasi diri yang negatif, harapan
terhadap
performance rendah,
suka menghukum diri dan sedikit memberikan hadiah terhadap diri sendiri. Sue,
et. al (1986) mendefinisikan depresi sebagai suatu keadaan emosi yang mempunyai
karakteristik seperti perasaan sedih, perasaan gagal dan tidak berharga, dan
menarik diri dari orang lain ataupun lingkungan..
Beck
(1967) sendiri membuat simtom-simtom depresi menjadi simtom-simtom emosional,
kognitif, motivasional dan vegetatif fisik. Secara rinci Beck menjelaskan lebih
lanjut, sebagai berikut
1.
Simtom
Emosional, merupakan perubahan perasaan atau tingkah laku yang merupakan akibat
langsung dari keadaan perasaannya.
2.
Simtom
Kognitif, manifestasi kognitif yang muncul, antara lain adanya penilaian diri
yang rendah, harapan-harapan yang negatif, menyalahkan dan mengkritik diri
sendiri, tidak dapat memutuskan dan adanya distorsi body image.
3.
Simtom
Motivasional, berkaitan dengan hasrat dan ketergugahan penderita yang cenderung
regresif. Istilah regresif dikaitkan dengan aktivitas yang dilakukan, dengan
derajat tanggung jawab atau dengan banyaknya energi yang akan digunakan.
4.
Simtom
Gejala Fisik – Vegetatif, perwujudan gejala vegetatif dan fisik benar-benar
dipertimbangkan peneliti sebagai bukti untuk melihat gangguan otonom atau
hypothalamic yang bertanggung jawab terhadap keadaan depresi.
Dari
penjelasan diatas, penelitian ini mengajukan beberapa pertanyaan penelitian:
1.
Mengapa terjadi kekerasan terhadap korban?
2.
Bagaimana dampak psikologis korban kekerasan seksual?
3.
Bagaimana dinamika kepribadian korban kekerasan seksual?
Metode
Pedekatan
dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Penelitian psikologis
fenomenologis bertujuan untuk mengklarifikasi situasi yang dialami dalam
kehidupan seseorang sehari-hari (Giorgi & Giorgi, 2008). Subyek penelitan
memiliki kriteria (a) perempuan yang mengalami kekerasan seksual, (b) usia 10-23
tahun, dan (c) Suku jawa. Informan dalam penelitian ini adalah orang tua dan 2
orang pendamping lapangan LSM yang salah satunya
merupakan
teman dekat subyek, jumlah informan penelitian 3 orang dipilih berdasarkan
kedekatan dengan subyek penelitian. Data dalam penelitian ini juga menggunakan
dokumen tertulis dan tidak tertulis untuk memberikan informasi tambahan. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.
Analisis
data dilakukan dengan prosedur analisis dan intepretasi data sebagai berikut:
1.
Memulai
dengan deskripsi tentang pengalama peneliti terhadap fenomena
2.
Membuat
pertanyaan dalam interview untuk mengetahui bagaimana subyek mengalami fenomena
tersebut, dan
3.
mengembangkan
daftar pernyataan.
4.
Pernyataan
dikelompokkan kedalam unit-unit makna, membuat daftar dari unit-unit tersebut
dan menuliskan deskripsi tekstural dari pengalaman.
5.
Membuat
refleksi berdasarkan deskripsinya sendiri dengan menggunakan deskripsi struktural.
Mencari semua makna yang memungkinkan dan perspektif divergen. Memperkaya
kerangkapemahaman dari fenomena, dan membuat deskripsi tentang fenomena
tersebut.
6.
Membuat
deskripsi keseluruhan dari makna dan esensi dari pengalaman.
7.
Membuat
composite textural-structural description dari maknamakna dan esensi
pengalaman, lalu mengintegrasikan semua deskripsi struktural individu menjadi
deskripsi universal dari pengalaman yang mewakili responden secara keseluruhan (Moustakas,
1994).
Hasil dan Diskusi Faktor Penyebab Kekerasan Seksual
Faktor-fakor
yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan seksual yang dialami oleh subyek
adalah sebagai berikut:
1.
Faktor
kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh
kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan
seksual..
2.
Faktor
rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang tidak
dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau
perilakunya.
3.
Faktor
ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya
dengan memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari pelaku.
Dampak Psikologis
Dampak
psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu
gangguan perilaku , gangguan kognisi, dan gangguan emosional.
·
Gangguan
Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari.
·
Gangguan
Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus ketika sedang
belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
·
Gangguan
Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati serta
menyalahkan diri sendiri.
Hasil
penelitian ini didapatkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi tidak
sesederhana dampak psikologisnya. Korban akan diliputi perasaan dendam, marah,
penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan
kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain. Setelah mengalami
kekeraan seksual berbagai macam penilaian terhadap masalah yang dialami subyek
bermacam-macam muncul perasaan sedih, tidak nyaman,
lelah,
kesal dan bingung hingga rasa tidak berdaya muncul. Subyek berusaha
mengevaluasi sumber stress yang muncul (primary
apparsial) dengan menilai apakah suatu
situasi menimbulkan stress pada dirinya (Folkman, 1986).
Dari
berbagai penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dampak psikologis kekerasan
seksual yang diterima oleh subyek pertama (S1) dan subyek dua (S2) adalah
gejala post traumatic stress disorder (PTSD). Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah suatu reaksi
psikologis yang dapat terjadi sebagai akibat dari suatu pengalaman traumatik
yang
mengancam hidup atau menghadapi situasi stres yang sangat ekstrim yang pada
umumnya ditandai dengan adanya depression,anxiety,
flashbacks, recurrent nightmares, and avoidance of reminders of theevent.
Zuhri
(2009) mengatakan bahwa beberapa orang mengalami gejala adanya Post Traumatic Stress Disorder ditunjukan dengan adalah adanya
rasa waswas apabila berhadapan dengan situasi/keadaan yang mirip saat kejadian,
merasa ingin menghindari dari situasi/keadaan yang membawa kenangan saat
terjadinya, keadaan ini dirasakan lebih dari 2 bulan pasca kejadian. Dalam hal
ini subyek berusaha mengatasi keadaan ini dengan banyak sharing denganorang
lain yang dipercayainya tentang kondisinya sehingga membuat kondisi subyek
lebih tenang.
Selain
mengalami stress pasca trauma, subyek juga mengalami depresi akibat dari
kejadian yang menekan tersebut. Subyek berpandangan bahwa dirinya sudah tidak
berguna lagi, merasa tidak memiliki masa depan dan menganggap dunia ini kejam.
Depresi juga merupakan gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi emosi sedih
dan muram serta terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, dan interpersonal
(APA, dalam Aditomo & Retnowati, 2004). Sikap dan keyakinan negatif yang
dialami oleh subyek disebabkan oleh distorsi kognitif, interpretasi negatif
terhadap pengalaman yang diterima, evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan
harapan negatif akan masa depan. Sumber permasalahan bisa berasal dari masa
Perkembangan awal sebagaimana pandangan psikoanalisis (Beck, 2008).
Dinamika Psikologis
Sebelum
menghadapi banyaknya masalah yang dihadapi subyek juga dihadapkan dengan
berbagai pandangan orang yang mengetahui perihal kejadian yang menimpa subyek.
Tekanan-tekanan dari lingkungan luar ini yang membuat subyek harus memutar otak
untuk memanipulasi setiap permasalahan yang dimilikinya. Adapun gambaran
dinamika psikologis yang didapat adalah sebagai berikut:
Berdasarkan
gambaran tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa segala sesuai baik itu dampak
psikologis maupun fisik selalu diawali oleh sistem kerja kognisi. Dari kognisi
akan berpengaruh pada perasaan dan tindakan, perasaan dan
tindakan
akan mempengaruhi kondisi fisik seseorang. Sistem kognisi yang negative akan
membuat indivudu memiliki pola pikir negatif yang diulang-ulang. Pengulangan
pola pikir negatif inilah yang kemudian membuat individu memiliki negative belief. Adanya negative
belief ini kemudian di kunci dan dibekukan ke Individu
dengan peristiwa
traumatis
(Kekerasan Seksual)
1.
Individu
mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial
2.
Mampu
beraktifitas seperti hari-hari biasanya
Kognisi
·
Ketakutan
·
Menyalahkan
diri sendiri
·
Sulit
konsentrasi
Body
·
Pengabaian
terhadap diri sendiri
·
Jarang
masuk sekolah dengan intensitas sering karena sakit Individu belum mampu
meminimalisir tekanan Adanya pikiran negative (menganggap diri tidak berdaya)
·
Pengulangan
pikiran negative Negative belief
·
Terkekang
dalam perasaan simpatik yang mendalam/kronik (stress state)
Action
Strategi
mengatasi masalah
·
Perubahan
mental
·
Menumbuhkan
pikiran positif Manipulasi Kognisi
·
Mengalihkan
pada hal yang sifatnya hiburan
·
Acceptance Dukungan
social (Social Support)
Berdasarkan
gambaran tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa segala sesuai baik itu dampak
psikologis maupun fisik selalu diawalioleh sistem kerja kognisi. Dari kognisi
akan berpengaruh padaperasaan dan tindakan, perasaan dan tindakan akan
mempengaruhi kondisi fisik seseorang. Sistem kognisi yang negatif akan membuat indivudu
memiliki pola pikir negatif yang diulang-ulang.
Pengulangan
pola pikir negatif inilah yang kemudian membuat individu
memiliki negative belief. Adanya negative belief ini
kemudian di kunci dan dibekukan ke dalam sistem kognisinya yang kemudian berpengaruh
pada kondisi fisik individu dan memunculkan banyak penyakit.
Sementara
sistem kognisi yang mendapatkan dukungan social dari keluarga maupun lingkungan
sosial, akan membuat individu memanipualasi kognisi atas tekanan-tekanan yang
dihadapi. Ketika gagal individu akan kembali pada pikiran negatifnya, namun
ketika berhasil hal tersebut akan berlanjut pada strategi individu dalam menghadapi
dan menyelesaikan permasalahanya. Keadaan seperti inilah yang kemudian akan
membuat individu dengan ekanan-tekanan yang dihadainya menjadi indvidu baru
yang lebih siap menghadapi realita kehidupan
Semantara
kaitannya dengan teori Glasser adalah terjadinya pergulatan antara kognisi dan
perasaan yang mana didalam pergulatan tersebut terdapat beberapa kebutuhan
seperti yang telah dijelaskan oleh Glasser yang meliputi need to survive atau
kebutuhan untuk bertahan hidup, need
to love and belonging atau
kebutuhan untuk dimiliki, need to
gain power atau kebutuhan untuk memperoleh kekuasaan,
need to be freedom atau kebutuhan untuk bebas, dan need
to have fun atau
kebutuhan untuk bersenang-senang.
Awalnya
sebelum mendapatkan dukungan sosial subyek memiliki berbagai pandangan negatif
terhadap dirinya. Subyek merasa rendah diri, tidak berharga, merasa kotor dan
tidak berdaya lagi. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki ini terjadi
berulang-ulang sampai pada akhirnya menjadi negative
belief yang terekam dalam sistem kognisi
subyek.
Negative belief yang
dimiliki oleh subyek tersebut kemudian di repress dalam diri subyek yang
kemudian membuat subyek menjadi terkekang dalam keadaan simpatik yang sifatnya
kronik/dalam. Keadaan seperti ini kemudian dibekukan oleh kondisi emosioal subyek
dan tetap tersimpan dalam diri subyek. Adaya pembekuan negative belief pada
diri subyek ini kemudian berpengaruh pada kondisi kesehatan subyek sendiri yang
pada akhirnya subyek belum
mampu
meminimalisir tekanan. Keadaan berbeda ketika subyek mendapatkan dukungan sosial
dari berbagai pihak. Disaat mendapatkan dukungan social inilah kemudian subyek
berupaya memanipulasi kognisinya dengan melakukan menghindar dan melakukan
penyangkalan bahwa yang terjadi tidaklah seburuk apa yang dipikirkan.
Manipulasi kognisi yang disertai dengan dukungan sosial inilah kemudian
membantu subyek untuk mampu membantuk strategi coping atas
segala permasalahan yang dihadapinya. Adanya strategi coping yang telah
dimiliki ini, kemudian menjadikan subyek sebagai sosok yang lebih berani dibandingkan
sebelum subyek mendapatkan dukungan sosial.
Kondisi
seperti yang telah dijelaskan di atas sesuai apa yang dikatanakan oleh Aldwin
& Revenson (1987) bahwa individu akanmelakukan usaha-usaha yang ditujukan
kepada orang lain yang terlibat untuk ikut serta memikirkan atau menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Di lingkungan yang baru subyek kembali menemukan kehidupan
dan keceriaannya. Hal ini seperti apa yang dikemukakan oleh Carver, C.S.,
Scheier, M.F., & Weintraub , J.K., (1989) yaitu subyek berusaha memikirkan
bagaimana mengatasi tekanan, memikirkan tindakan yang diambil dan menentukan
cara penanganan terbaik untuk memecahkan masalah.Sementara untuk subyek kedua
(S2) hanya mengalami 1periode dinamika psikologis. Untuk meminimalisir
tekanan-tekanan psiologis yang menimpanya subyek memiliki beberapa strategi coping,
yaitu:
1.
Seeking
social support for instrumental reasons, semenjak didatangi oleh LSM subyek
merasa mendapatkan dukungan sosial dari LSM yang bergerak dalam pemberdayaan
anak dan perempuan yang kurang beruntung.
2.
Seeking
social support for emotional reasons, subyek mengikuti kegiatan konseling yang
dilakukan oleh LSM.
3.
Mental
disengagement, subyek berupaya menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan
rasa kecewa atas perilaku traumatisnya dengan mengikuti kursus menjahit yang
diadakan oleh LSM.
4.
Turning
to religion, subyek mengembalikan semua kejadian yang menimpanya pada yang Maha
Kuasa, bahwa sesungguhnya Tuhan sudah menggariskan segala sesuatu yang akan
terjadi pada setiap umatnya.
5.
Positive
reinterpretation and growth, subjek berusaha membangun suatu pemikiran yang
positif dengan mengambil hikmah atau manfaat dari kejadian menekan yang
dialaminya.
6.
Seek
social support for emotional reasons, subyek mencari dukungan moral, simpati
dan pemahaman terhadap stresor yang dihadapinya, sehingga ia dapat menjadi
tentram dengan adanya dukungan sosial.
Kesimpulan
Faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual dalam penelitian ini adalah:
(a)
Faktor kelalaian orang tua.
(b)
Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. dan
(c)
Faktor ekomoni.
Dampak
psikologis yang dihadapi oleh kedua subyek berbeda, hal ini disebabkan karena
masing-masing subyek memiliki kepribadian, cara mengatasi masalah, cara memanipulasi
kognisi, serta dukungan sosial yang berbeda. Meskipun dampaknya berbeda, namun
secara umun hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku traumatis pada
korban kekerasan seksual. Perilaku traumatis tersebut adalah stress pasca
trauma (PTSD), dengan ditandai adanya
penilaian
diri yang rendah, pengabaian terhadap diri sendiri, adanya perubahan mood dan
perilaku, adanya kenangan-kenangan yang mengganggu serta ganguan tidur.
Adapun
dinamika psikologis subyek sebelum mendapatkan dukungan sosial subyek memiliki
berbagai pandangan
Negative
terhadap dirinya. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki ini terjadi berulang-ulang
sampai pada akhirnya menjadi negative
belief yang terekam dalam sistem kognisi
subyek. Negative belief yang dimiliki oleh subyek selanjutnya
di repress dalam diri subyek yang kemudian membuat subyek menjadi terkekang
dalam keadaan simpatik yang sifatnya kronik/dalam. Keadaan seperti ini kemudian
dibekukan oleh kondisi emosioal subyek dan tetap tersimpan dalam diri subyek. Adaya
pembekuan negative belief pada diri subyek ini kemudian berpengaruh
pada kondisi psikis dan psikologis subyek. Keadaan berbeda ketika subyek
mendapatkan dukungan sosial. Disaat mendapatkan dukungan sosial subyek berupaya
memanipulasi kognisinya dengan melakukan penyangkalan bahwa
yang
terjadi tidaklah seburuk apa yang dipikirkan. Manipulasi kognisi yang disertai
dengan dukungan sosial inilah kemudian membantu subyek untuk mampu membantuk
strategi coping atas segala permasalahan yang
dihadapinya.
Untuk
meminimalisir tekanan-tekanan psiologis yang menimpanya subyek memiliki
beberapa strategi coping, yaitu: (a) mencari dukungan sosial dari LSM
(b)
mengikuti kegiatan konseling,
(c)
menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan rasa kecewaatas perilaku
traumatis,
(d)
mengembalikan semua kejadian yang menimpanya pada yang Maha Kuasa,
(e)
berusaha membangun suatu pemikiran yang positif
(f)
mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman terhadap stresor yang
dihadapinya.
Saran
Kekerasan
dalam jenis dan bentuk apapun, tidak dapat ditoleransi dengan alasan apapun.
Bagi subyek penelitian diharapkan untuk berhati-hati dalam memilih teman dalam
pergaulan, jangan cepat percaya dan terlena oleh bujuk rayu serta iming-iming
yang dijanjikan oleh orang lain baik yang sudah dikenal maupun belum.
Hal
terbaik yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman kepada
diri sendiri tentang bagian tubuh mana dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan
oleh orang lain terhadap bagian tubuhnya.
Penenaman
agama serta pemahaman ajaran agama yang mendalam juga bisa menjadi benteng
untuk menghindari tindakan serta pergaulan bebas. Apabila memang sudah
melakukan antisipasi namun masih mengalami kekerasan, lawanlah dengan kemampuan
yang dimiliki. Hal ini akan membuat beban psikologis menjadi sedikit ringan dan
mengurangi adanya penyesalan serta menumbuhkan rasa percaya diri apabia
dibandingkan tanpa perlawanan.
Perhatian
orang tua serta dukungan terhadap anak juga merupakan faktor terpenting dalam
proses meminimalisir terhadap kejadian-kejadian traumatis yang menimpa anak.
Penelitian ini menununjukkan bahwa dukungan sosial mampu meringankan beban berat
yeng diterima oleh anak ketika menghadapi situasi-situasi sulit, oleh sebab itu
hendaknya orang tua tidak serta merta menyalahkan anak akibat dari
tekanan-tekanan yang melanda.
Bagi
peneliti yang akan mendatang diharapkan dapat memperluas jangkauan sudut
pandang penelitian, baik dari segi
etnografi
maupun biopsikososiospiritual.
SUMBER : M. Anwar Fuadi
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Maulana
Malik Ibrahim Malang
0 comments:
Posting Komentar