Kamis, 12 November 2009

HARGAI PERASAAN ANAK! (KIAT JITU MENDISIPLINKAN ANAK)



Prinsip pertama yang perlu kita pahami untuk mendisiplinkan anak dan remaja adalah bahwa mereka lebih banyak bertindak atas dasar perasaan daripada pikiran mereka. Terkadang mereka beraksi tanpa berpikir sama sekali.
Mari kita ambil contoh seorang anak remaja yang suka marah-marah. Ia sering terlibat dalam pertengkaran lisan dengan ibu dan beberapa gurunya. Setiap kali kehilangan kendali, ia mengumpat ibunya atau gurunya itu, lalu mendapat hukuman yang relatif berat. Di sekolah, remaja ini sering diberi surat peringatan atau diskors. Ia tidak melawan. Ia selalu tampak menyesal. Namun, kenakalannya itu terus terjadi berulang kali.
Dialognya dengan ibunya seringkali terdengar seperti ini:
Anak: “Bu, bolehkah aku pergi ke rumah Christy sepulang sekolah?”
Ibu: “Tidak. Kamu harus pulang ke rumah dan mengerjakan tugasmu dulu.”
Anak: “Aku tak akan lama di sana, dan aku akan mengerjakan tugasku segera setelah pulang ke rumah.”
Ibu: “Itu yang kamu katakan terakhir kali, dan itu tidak terjadi. Jawabannya tidak. Ibu katakan, jangan meminta izin lagi!”
Anak: (Setelah mengerahkan berbagai upaya untuk melunakkan hati ibunya, ia berteriak.) “Ibu tidak pernah mengizinkan aku melakukan apa pun! Ibu #%*. Aku benci Ibu!” (”#%*” = ungkapan umpatan)
Ibu: (Juga berteriak) “Diam! Kamu dihukum tidak boleh memakai telepon selama seminggu. Kamu harus belajar menjaga mulutmu!”
Begitulah. Anak-anak tak jarang berbuat nakal dengan melakukan kesalahan lagi dan lagi, bahkan bila mereka telah dihukum berulang kali. Bila ini terjadi, seperti pada contoh di atas, orangtua perlu mencari tahu perasaan apa yang mendorong tingkah laku mereka itu. Kemudian orang tua perlu mengajari mereka untuk mengenali perasaan mereka sendiri, lalu mengajari mereka cara-cara lain (yang tidak tergolong nakal) untuk menyalurkan perasaan mereka itu.
Cara begitu mungkin perlu waktu, tetapi begitulah kiat yang jitu. Contohnya adalah seperti berikut ini.
Ibu: “Ibu khawatir akan dirimu. Kamu sering marah, tetapi Ibu berharap kita bisa menemukan apa penyebabnya. Ibu merasa ada sesuatu di sini atau mungkin juga di tempat lain yang membuatmu merasa gelisah saat ini. Bisakah kau jelaskan apa itu?”
Anak: “Aku tidak tahu.”
Ibu: “Cobalah dengan menebak-nebak lebih dahulu apa yang mungkin kau rasakan, yang membuatmu marah. Apakah kau merasa sedih karena kau pikir Ibu tidak adil padamu?”
Anak: “Ya. Ibu selalu mengizinkan Mbak Yani (kakak anak itu) melakukan apa pun yang ia inginkan. Tapi setiap kali aku minta izin untuk melakukan sesuatu, Ibu selalu melarangku.”
Ibu: “Ibu minta maaf kalau keputusan Ibu terasa tidak adil bagimu. Bagaimana jika lain kali, ketika kau merasa seperti itu, kau katakan saja baik-baik? Misalnya: ‘Bu, ini rasanya tidak adil. Aku marah.’ Katakan saja. Ibu akan mendengarkan. Kemudian kita dapat membicarakannya tanpa teriak-teriak dan tanpa kata-kata umpatan. Nah, apakah kau sepakat untuk mencoba ini?”
Perhatikan bahwa si ibu tidak berusaha mendebat anak, seperti: “Yani pernah juga Ibu larang, tapi dia tidak marah-marah. Kamu pernah pula Ibu izinkan, tapi kamu melanggar syaratnya.”
Mengapa mendebat anak yang marah itu tidak perlu? Sebab, kemarahan itu selalu merupakan emosi kedua. Kemarahan biasanya merupakan ungkapan dari perasaan yang lain. Dalam contoh kasus di atas, perasaan yang mendasari kemarahan si anak itu lebih berkaitan dengan kecemburuan atau bahkan ketakutan kalau-kalau ibunya lebih mencintai kakaknya.
Selanjutnya, orang tua perlu memaklumi perasaan si anak itu dan melakukan berbagai tindakan seperlunya (bukan sekadar menyampaikan penjelasan) yang memperlihatkan kepada si anak bahwa orangtua menghargai perasaan si anak. Segera sesudah perasaan dan kebutuhan akan penghargaan itu tertangani, insya’Allah si anak akan mengubah kebiasaannya yang kita golongkan nakal itu.
Referensi: Joyce Divinyi, Discipline Your Kids, Langkah 1: Pikirkan perasaan si anak.



0 comments:

Posting Komentar

Bunda Dan Ananda © 2008 Template by:
bunda dan ananda