Rabu, 18 Februari 2009

ANAK BERONTAK, Bukan Pertanda Buruk


Jangan panik ketika tiba-tiba Anda menghadapi sang buah hati memberontak. Hal itu justru pertanda bahwa anak mulai berpikir kritis.


SUATU hal yang wajar apabila seorang anak di satu saat menunjukkan sikap memberontak. Padahal, selama ini anak itu dikenal sangat patuh terhadap aturan. ”Memang ada fase yang dilalui anak dengan menunjukkan sikap memberontak terhadap kondisi atau aturan yang berkenaan dengan dirinya,” kata Dra Prihanti Handayani, Kepala Level 4-6 SD Al Izhar, Pondok Labu, Jaksel.

Yani menyebutkan, fase pemberontakan biasa terjadi ketika anak masuk sekolah TK. Pada saat itu dia mulai diperkenalkan dengan sejumlah aturan. Mungkin pada awalnya dia mengikuti aturan tersebut, apalagi karena hal tersebut menjadi pembiasaan. Tapi lama-kelamaan si anak akan mulai berpikir kritis dan melakukan analisa atas apa yang selama ini terjadi. ”Wah kalau begini sih lebih baik saya begini,” begitu pikir anak.

Dengan demikian, akhirnya dia melakukan hal lain yang di luar kebiasaan tersebut. Kondisi ini kerap dipahami orangtua sebagai sebuah pemberontakan. Dari semula penurut, tapi kok sekarang jadi tidak lagi menurut. Menurut Yani, fase yang sedang dilalui anak tersebut sebetulnya adalah fase menganalisa. Dia mulai memikirkan apa-apa saja yang dia dapatkan. ”Kalau situasi ini terjadi terhadap anak kita, ada baiknya orangtua kembali memikirkan jalan keluar dan mengajaknya berdiskusi,” imbuhnya. Sebagai satu contoh, sejak kecil umumnya anak-anak sudah diajarkan untuk toilet training. Dengan begitu ketika baru berusia 2 tahun, dia sudah bisa buang air kecil di kamar mandi. Itu terjadi karena adanya pembiasaan.

Namun, bisa saja ketika menginjak usia 4 tahun, si anak tiba-tiba pipis persis di depan pintu kamar mandi. ”Saat itu mungkin anak sedang berpikir dan menganalisa, kenapa saya harus kencing di dalam kamar mandi. Kenapa tidak di luar saja?” pikir si anak. Ketika orangtua menganggap situasi ini merupakan hal yang wajar, maka penyimpangan semacam ini kemungkinan akan dilakukan terus oleh si anak. Dalam menghadapi situasi semacam ini, Yani menyarankan, orangtua tidak perlu marah. Namun lebih baik dengan jalan mengajak dialog si anak. Si ibu bisa saja mengatakan, ”kamu sudah tidak tahan kebelet pipis ya.

Menurut kamu apakah ini tempatnya atau bukan?” Jadi, kala menghadapi situasi semacam ini sebaiknya dianalisa kembali. Baik oleh orangtua maupun si anak. Sampai akhirnya si anak kembali mengerti dan memahami seberapa perlunya buang air di dalam kamar mandi. Sebetulnya ketika orangtua menerapkan sebuah aturan, penting untuk dikomunikasikan ke anak. Karena selama ini seorang anak menganggap bahwa aturan itu semacam pembiasaan saja. Dia harus menerapkan dan mengikuti aturan tanpa ada penjelasan. Contohnya, aturan buang air di kamar mandi, dipahami anak sebagai sesuatu yang hanya perlu diikuti saja tanpa perlu ada penjelasan.

Karena itu anak belum sampai ke pemahaman bahwa aturan itu ditujukan untuk kebersihan. Selanjutnya, ketika si anak sudah sampai pada tahapan berpikir, dia menjadi mencoba melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan atau aturan. Itu berarti anak sudah pada tahapan kritis. Anak-anak pada usia tertentu membutuhkan penjelasan yang lebih banyak daripada sekadar diberikan aturan atau perintah. ”Sebetulnya tahapan semacam ini memang harus dilalui semua anak.

Sekarang sebagai orangtua, kita perlu menyiasati supaya pemberontakan itu tidak berkelanjutan. Kita perlu mengarahkan anak agar kembali kepada relnya,” pesan Yani. Apabila anak diberi tahu dengan penjelasan bahwa aturan buang air di kamar mandi dilakukan demi alasan kesehatan dan kebersihan, maka dia akan mengerti. Lalu dia akan kembali ke aturan semula.

Hanya Perlu Didengar

BERAPA lama proses pembangkangan akan dilakukan anak? Hal ini sangat bervariasi, tergantung dari sikap yang diberikan orangtua terhadap anaknya. Sikap orangtua dapat menimbulkan dampak positif atau negatif bagi anaknya. ”Untuk itu, orangtua dituntut harus peka terhadap perkembangan anak-anaknya. Jadi kalau melihat ada perkembangan hal yang tidak biasa dalam diri anak, maka tidak ada salahnya untuk dibicarakan kepada anak,” kata Dra Prihanti Handayani.

Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam mengatasi segala persoalan yang terjadi dalam diri anak-anak. Bagi anak usia cukup besar, antara kelas 5 atau 6 SD, sebetulnya dia hanya butuh untuk didengar. ”Tidak perlu bereaksi berlebihan atau banyak berkomentar. Kondisi semacam ini yang akan membuat komunikasi menjadi lebih lancar,” ucap ibu tiga anak ini. Sebagai contoh kasus sederhana, terjadi ketika anak sepulang sekolah. Dia bersemangat bercerita kepada ibunya tentang segala hal yang terjadi di sekolah. ”Mama tadi temanku ketahuan guru mencontek di kelas,” cerita si anak.

Tapi sayangnya, terkadang orangtua menimpali cerita anak dengan reaksi dan mengatakan, ”kamu tidak boleh mencontek ya!” Apabila anak sedang bersemangat bercerita, kemudian mendapat tanggapan komentar yang bernada menghakimi seperti tadi, maka akan membuatnya malas melanjutkan ceritanya. Karena itu tak heran kalau keesokan harinya tak ada lagi cerita-cerita menarik dari si anak. Sebab si anak akan berpikir, ”itu kan pelakunya bukan saya, tapi kenapa jadi saya yang dihakimi”. ”Sebaiknya kita tunggu sampai si anak selesai bicara.

Kemudian bisa kita tanyakan komentar atau tanggapan dari anak kita sendiri,” saran Yani. Karena sebetulnya, anakanak mempunyai jawaban yang lebih bermoral ketimbang jawaban dari kalangan orang dewasa. Lebih baik kesadaran itu digali dari dalam diri si anak itu sendiri. Karena itu ketika belajar pun, mereka mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kaidah atau nilai-nilai yang sudah tertanam dalam dirinya. ”Menjadi orangtua yang mau mendengarkan itu akan membuat kita mendapatkan banyak hal dari anak,” katanya.

Dengan demikian, anakanak akan lebih mudah berbicara dan terbuka. Karena itu, hal apa pun bisa ditanyakan ke orangtuanya. Tapi kalau belum apa-apa sudah dihambat, maka selesai sudah jalinan komunikasi. Tidak akan terjadi lagi komunikasi yang baik antaranak dan orangtuanya. Salah satu solusinya, kalau ada masalah sebaiknya jangan dimulai dengan marah. Sebaiknya orangtua duduk bersama dengan anak dan menganalisa bersama.

Ada di mana masalahnya dan langkah apa yang akan diambil ke depan. Jangan justru melihat ke belakang. Sikap seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Terlebih apabila anak-anak sudah menjelang masa remaja, mereka sudah dapat diajak bicara. Sebagai contoh, untuk mengajaknya melakukan sesuatu hal kita bisa mengajaknya bicara, ”kamu lebih suka disuruh atau melakukan sendiri.” Bisa dipastikan anak akan menjawab, lebih suka melakukan sendiri.

Diskusikan Segala Hal

PADA prinsipnya, perubahan yang terjadi pada seorang anak disebabkan dia sedang berada dalam tahap pembentukan. Tidak mungkin perubahan sikapnya itu terjadi dengan tiba-tiba. Dia pasti membutuhkan proses ke arah pembentukan tersebut. Nah, dalam proses tersebut, diperlukan bantuan dari orang tua dan guru. Cara membantunya dengan jalan mendiskusikan dulu segala masalah yang dialami anak. Contoh lain, Yani menceritakan tentang pengalamannya.

Dia agak kesulitan mengajak anaknya pulang apabila sedang berkunjung ke rumah neneknya. Si anak selalu keberatan dan berkata, ”Nanti saja pulangnya.” Akhirnya, Yani menyiasati dengan mendekati si anak dan menjelaskan bahwa sebentar lagi kita akan pulang. Ketika si anak beralasan yang sama, Yani menanyakan berapa lama lagi waktu yang diinginkan sang anak. Saat si anak menjawab setengah jam lagi, Yani membiarkan dia kembali bermain. Jadi, ada saatnya kita perlu memahami anak-anak dan hal apa saja yang mereka sukai dan ingin dilakukannya.

Menjelang waktunya, orangtua bisa kembali bertanya ke anak, kira-kira berapa menit lagi akan pulang. Komunikasi ini akan membangunkan kesadaran si anak bahwa sebentar lagi dia harus pulang. Langkah semacam ini lebih baik dilakukan, dari pada orangtua memaksa anaknya untuk pulang. Orangtua perlu berlatih berkomunikasi dengan anaknya. Orangtua perlu menyamakan frekuensi komunikasi dengan anaknya.

Sebab, sering kali orangtua berbicara terhadap anak dengan frekuensi yang berbeda sehingga terkadang tidak terjadi komunikasi yang baik. ”Kita perlu terus belajar berkomunikasi agar apa yang kita ingin sampaikan, bisa sampai ke anak. Membuat satu hal dipersepsikan sama sehingga dia memahaminya seperti yang kita pahami,” papar Yani. Selanjutnya, orangtua perlu pula mengelola rasa jengkel dan marah yang kerap dirasakan ketika mendidik anaknya.

Misalnya, apa yang bisa didapatkan orangtua dari peristiwa ketika anaknya memecahkan sebuah gelas. Saking marahnya, sang ayah dengan nada tinggi mengatakan, ”Siapa yang memecahkan gelas!” Padahal, sang ayah menyaksikan sendiri siapa yang sebetulnya memecahkan gelas. Karena mendapatkan pertanyaan semacam itu, si anak langsung berpikir bahwa ayahnya tidak tahu kalau dirinya yang memecahkan gelas tersebut. Akhirnya si anak menjawab dengan kalimat bantahan.

”Bukan saya yang memecahkannya,” jawab si anak. Akibatnya, karena kemarahan sang ayah membuat si anak berbohong. Tujuannya tak lain agar tidak dimarahi oleh sang ayah. Untuk kasus di atas tadi, Yani menyarankan, alangkah lebih baik kalau sang ayah mengucapkan kalimat yang lebih simpatik.

1 comments:

BusinessMan mengatakan...

mendidik anak sangat perlu untuk hati-hati, jangan sampai salah dalam mendidik anak sehingga membuat anak menjadi orang yang pesimis, minder dan lain-lain.karena didikan ortu dapat membentuk kepribadian anak.

—————————————————-
Bagaimana cara mendidik anak agar sukses dan bahagia di anekapilihan.com

Posting Komentar

Bunda Dan Ananda © 2008 Template by:
bunda dan ananda