Selasa, 04 Oktober 2011

KASUS KEKERASAN ANAK



KASUS KEKERASAN PADA ANAK DAN DAMPAKNYA

PENGABAIAN

Kasus : Vira (24 th), punya anak tak lama setelah menikah. Ia merasa menjadi tawaan yang tidak bebas lagi berkumpul dengan teman-teman. “Real life tak seperti romantisme yang saya bayangkan. Kebebasan saya terampas, “ ujarnya. Maka pengasuhan bayi sepenuhnya diserahkan pada baby sitter. Vira sendiri selalu pulang tepat sebelum suaminya tiba di rumah, seolah seharian mengurus anak. Padahal, “Tidur, mandi, makan, susu, bahkan uang belanja harian dina bulanan, saya serahkan sepenuhnya pada baby sitter. Saya tak mau tertawan. “

Dampak emosi : Secara alami, anak memilih ibu untuk melekat. Disekap, disentuh, dibelai dan dipeluk adalah kebutuhan utama bayi. Dari pengalaman ini bayi menumbuhkan cinta di hati membangun rasa percaya di dalam diri dan terhadap orang lain, dan yang utama adalah tumbuhnya rasa aman. Itu sebabnya anak-anak dengan riwayat diabaikan, berisiko mengalami masalah-masalah emosi bahkan kejiwaan.

  • Mudah cemas, depresi, sulit percaya pada orang lain dan merasa tidak aman.
  • Penelitian Dante Cicchetti, ahli psikopatologi dari University of Minessota (AS) menyebut, 80% bayi yang ditelantarkan menunjukkan perilaku kelekatan yang tidak jelas.
  • Di usia muda anak menolak dan melawan pengasuhnya, bingung, gelisah, atau cemas. Diusia 5 tahun, anak tidak bertingkah laku layaknya anak, ia ingin mendapat perhatian dengan cara melayani orang tuanya.
Dampak fisik : Asupan gizi yang tidak memadai.

Orang tua diharapkan : Konsultasi pada psikolog untuk mengkaji kembali perkawinannya dan untuk apa mempunyai anak, serta mengubah pola pikir.
Bantuan untuk anak oleh orang dewasa lain :
  • Periksa anak ke dokter untuk mengetahui tumbuh kembangnya serta status gizinya.
  • Penuh kebutuhan anak untuk menumbuhkan rasa percaya dan rasa aman.
  • Ajak anak bermain dan penuhi kebutuhan emosinya seperti diajak bicara atau dibelai, namun tetap mempertahankan sikap konsisten, tidak cepat marah dan tidak member penilaian negative pada sikap anak.
KASUS KEKERASAN FISIK TERHADAP ANAK

KEKERASAN FISIK

Kekerasan fisik kerap kali tidak ada batas jelas antara menyiksa dan mendisiplikan.

Kasus : Yani (30 th) sering menghukum kenakalan anaknya yang berusia 5 tahun. Bentuk kenakalan itu antara lain, menuang sabun di kamar mandi, tak mau makan, mengotori jemuran dan menganggu adik. “Kalau nakalnya di kamar mandi, ya saya pukul pakai gayung. Kalau tak mau makan, saya pukul pakai sendok atau piring. Kalau menganggu adiknya, saya pukul pakai mainannya.” Menurut Yani, anak harus dihukum supaya jera dan tidak mengulangi perbuatan yang dilarang. Yani tak ingin disalahkan suami karena tak mampu mendidik anak.

Dampak fisik : Memar, luka, patah tulang terutama di daerah rusuk dan gangguan-gangguan di bagian tubuh lain seperti kepala, perut, pinggul, kelak di usia selanjutnya.

Dampak emosi :
  • Merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas
  • Membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk member disiplin. Di usia dewasa anak akan menggunakan pendekatan kekerasan untuk mendisiplinkan anak.
  • Orang tua diharapkan :
  • Konsultasi pada psikologi untuk latihan mengelola emosi, menggali masalah suami isteri yang tidak selesai dan mempelajari perkembangan anak.
  • Ajak anak ke dokter untuk memeriksakan kondisi fisik.
  • Pahami perkembangan anak. Di usia 5 hingga 8 tahun, anak sedang berada pada tahapan ingin menunjukkan kemampuan, mereka ingin berkreasi. Tidak semua tindakan anak merupakan kenakalan, mereka tidak tahu bahwa tingkah lakunya salah atau kurang tepat.
  • Bantuan untuk anak :
  • Pemeriksaan psikologis oleh psikolog untuk mengetahi gangguan emosi yang dialaminya dan mendapat terapi yang sesuai.
  • Tumbuhkan kembali rasa percaya diri anak. Terimalah apa yang mereka lakukan dengan tidak lupa memberitahu tindakan apa yang seharusnya dilakukan.
  • Bila orang tua bukan pelaku kekerasan, yakinkan anak bahwa ia sangat dicintainya.

KASUS KEKERASAN SEKSUAL

Biasa dilakukan orang dewasa terhadap anak. Bisa berdampak pada cedera fisik, cemas, depresi, trauma, perubahan fungsi dan perkembangan otak.

Kasus :
  1. Aditya, seorang pemuda belasan tahun yang ketahuan mengoleksi film porno dirumahnya, hampir seluruhnya berisi adegan seksual antara pria dengan pria. Dari psikolog, diperoleh jawaban sewaktu Aditya masih SD, ia mengalami perbuatan tak senonoh dari satpam penjaga rumah. Adit tak berani melapor karena ia diancam.
  2. Ibu Dira (5 th) menemukan celana dalam putrinya “kotor”. Dari ruang dokter, Dira menangis tak mau diperiksa. Akhirnya dokter berhasil menemukan penyebab sakitnya Dira: infeksi akibat hubungan seksual. Rupanya Dira dipaksa melakukan hubungan seksual dengan tukang kebun di rumahnya, saat orang tuanya pergi.
Dampak : cedera fisik, cemas, depresi, trauma, perubahan fungsi dan perkembangan otak.
Orang tua diharapkan:
  • Biasakan bersikap terbuka terhadap anak dan menghargai kejujuran anak agar anak tidak takut bersikap terbuka.
  • Yakinkan anak, tak ada rahasia yang harus mereka sembunyikan. Minta anak selalu menceritakan pengalamannya.
  • Peka pada perubahan yang terjadi pada anak.
  • Bantuan untuk anak :
  • Melakukan pemeriksaan untuk menanggulangi masalah fisik.
  • Ajak anak berkonsultasi pada psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang dialami anak dan dilakukan terapi yang sesuai
  • Jauhkan anak dari pelaku.
  • Ciptakan rasa aman bagi anak.

KASUS KEKERASAN EMOSI/ VERBAL

Masa kanak-kanak adalah masanya meniru dan mulai tertanamya norma-norma yang akan dia ikuti. Kata-kata dan perilaku kasar yang diterimanya, akan ditirunya.

Kasus :
  1. Ayu (29 th), sangat kreatif dalam menakut-nakuti Bisma (4 th). “Jangan main di kamar mandi, nanti digigit kecoa. Jangan keluar rumah sendirian, nanti diculik hantu blau. Ayo cepat tidur, nanti tokeknya datang, kamu digigit.”
  2. Nina (35 th) kerap neneriaki Dido (7 th). “Aduh, dasar bego! Sudah ratusan kali ibu bilang, kembalikan barang di tempat semula! Bikin ibu darah tinggi.”
  3. Firdaus, kelas 1 SD, kerap pulang sekolah dengan perasaan sedih. Miss Yovita, gurunya, sering mengatainya pemalas, pelupa dan jorok saat firdaus pilek.
  4. Bermaksud memotivasi anak, Meta sering mencela anaknya, “Memangnya kamu bisa? Kamu itu bisanya apa, sih? Ini nggak bisa, itu nggak bisa! Paling pintar nangis. “ Meta juga sering memarahi anaknya di tempat umum.
Dampak :
  • Masa kanak-kanak adalah masanya meniru dan mulai tertanamnya norma-norma yang akan dia ikuti. Kata-kata dan perilaku kasar yang diterimanya, akan ditirunya. Anak tidak lagi mengetahui mana tingkah laku yang tepat. Demikian pula pemberian ‘label akan tetap tertanam dalam dirinya, dan dapat menyebabkan ia memilki konsep diri bahwa ia adalah anak sperti apa yang dikatakan orang padanya.
  • Anak merasa terancam, ketakutan, merasa bersalah, rendah diri karena terkikis harga dirinya.
  • Bila sering ditakut-takuti, anak menjadi penakut.
  • Bantuan untuk anak :
  • Bila terjadi di sekolah, bicarakan dengan kepala sekolah tentang sikap guru terhadap murid. Sementara itu orang tua harus meyakinkan anak bahwa ia sangat dicintai.
  • Orang tua atau orang dewasa lain disekitar anak tidak lagi berlaku kasar padanya dan tunjukkan hal positif. Bila ia melakukan sesuatu yang baik berikan pujian secukupnya.
  • Ajak anak ke psikolog untuk pemeriksaan psikologis dan mendapat terapi yang sesuai.

KASUS PERKELAHIAN ORANG TUA

Anak-anak diliputi perasaan bersalah karena cara berpikir anak masi egosentris, menilai dari sudut pandangnya sendiri. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri bila orang tua mereka bertengkar.

Kasus :
  1. Suami Riris tak bisa mengendalikan emosi. Menampar, menjambak, menendang Riris kerap dilakukannya di hadapan anak-anak. Setelah peristiwa itu, biasanya si sulung Yasmin (8 th) mengusap wajah dan menghibur ibunya. Bila diperlakukan ayahnya sudah kelewatan, Yasmin berteriak membela ibunya, sementara kedua adiknya bersembunyi saling berpelukan.
  2. Sambil uring-uringan mengomeli suami, Retha berteriak, “Dasar, laki-laki tak punya otak.” Bermacam hal membuat Retha tak puas, dan sering memicu pertengkaran dengan suami. Anak-anak sering menyaksikan pertengkaran ini.
Dampak jangka pendek :
  • Anak-anak diliputi perasaan bersalah karena anak masih egosentris, menilai dari sudut pandangnya sendiri. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri bila orang tua mereka bertengkar.
  • Anak-anak merasa diri sebagai penyebab setiap kali terjadi pertengkaran orang tuanya.
Dampak jangka panjang:
  • Merasa tidak aman
  • Sulit percaya pada lawan jenis.
Orang tua diharapkan:
  • Minta bantuan psikolog untuk menggali masalah-masalah yang belum terselesaikan antara suami isteri.
  • Menghindari pertengkaran di depan anak.
Bantuan untuk anak :
  • Jelaskan pada anak bahwa anak-anak bukan penyebab pertengkaran orang tuanya.
  • Bicaralah pada anak sesuai usianya. Jawab pertanyaan anak mengenai kondisi keluarga dengan tidak menyertakan emosi, jangan menjelekkan pasangan, walaupun mungkin sudah memutuskan untuk bercerai.
  • Minta maaf pada anak kalau ia menjadi takut dan cemas dengan pengalam melihat pertengkaran orang tuanya. Tegaskan bahwa walaupun kedua orangtua bertengkar atau berpisah tetapi mereka tetap mencintai anak.
  • Tetap memiliki pola asuh yang sama walau berpisah, sehingga anak tidak bingung dengan adanya aturan yang berbeda.

TEMPAT-TEMPAT KONSULTASI DAN TERAPI ANAK

Jika anak atau balita anda mengalami kekeraan, anda bisa segera mencari bantuan dari berbagai lembaga berikut ini :

JAKARTA

1. Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kampus UI, Depok.

2. Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia.
Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3145078, 3907408, 3908995.

3. Klinik Anakku.
Jl.Mandiri Raya Blok M4D Kav.1-2
Kelapa Gading Permai, Jakarta.
Telp. (021) 4529498, 70790055

4. Pusat Krisis Terpadu.
Instalasi Gawat Darurat Lantai 2
RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta.
Telp. (021) 3162261

5. Biro Konsultasi Psikologi DWIPAYANA.
Kav. POLRI blok G No.46 Jakarta Selatan
Telp. (021) 7817477
Surel: dwipayana@dwipayana.com / birodwipayana@yahoo.com

BANDUNG
1. Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran.
Kampus Jatinagor, Bandung.
Telp. (022) 2516933
2. Biro Konsultasi Psikologi DWIPAYANA.
Jl.Pager Gunung No.14, Bandung.
Telp. (022) 2516933

SEMARANG.

1. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.
Jl.Prof.Dr.Soedarto SH
Kampus UNDIP Tembalang, Semarang.
Telp.(024) 7460051
Surel: psikoundip@yahoo.com

2. Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata.
Jl.Pawiyatan Luhur IV No.1
Bendan Dhuwur Semarang.
Telp. (024) 8441555
Surel: psikologi@unika.ac.id

3. Biro Konsultasi Psikologi Universitas Semarang.
Jl.Soekarno Hatta Tlogosari, Semarang.
Telp. (024) 6702757
Surel: univ_smg@indo.net.id

YOGYAKARTA

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Jl.Humaniora 1, Bulaksumur
Telp. (0274) 550435

SURABAYA

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Jl.Dharmawangsa Dalam Selatan
Telp. (031) 5032770, 5014460

MEDAN

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Jl.Dr. T. Mansur 7
Kampus USU Padang Bulan, Medan.
Telp. (061) 822 0122

http://www.ayahbunda.co.id

0 comments:

Posting Komentar

Bunda Dan Ananda © 2008 Template by:
bunda dan ananda